Damai. Kata yang tepat untuk melukiskan suasana hati saat menyambangi halaman Masjid Darussalam di Desa Murtigading, Bantul. Keteduhan serambi bagian timur masjid yang hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari pantai selatan seolah menyambut kehadiran para jamaah dan tetamu yang singgah.
Sepintas tidak ada yang istimewa dari bangunan masjid di Dusun Pucanganom, Kecamatan Sanden, itu. Sama seperti masjid sederhana berarsitektur Jawa pada umumnya, Darussalam terbagi atas bangunan utama untuk shalat, serambi, dan pawudhon atau tempat wudhu. Berimpitan dengan dinding masjid, disebelah barat terdapat komplek pekuburan.
Yang membedakan Darussalam dengan masjid lain adalah keberadaan mustaka (kubah masjid) dan jambangan atau tempat air (untuk wudhu) yang berumur tak kurang dari 500 tahun. Masjid yang berdiri di atas tanah putih (tanah milik Kasultanan Mataram) seluas 799 meter persegi tersebut juga mengukir riwayat syiar Islam dan perjuangan kemerdekaan di pesisir selatan Yogyakarta.
Alkisah, lima abad lampau masyarakat Pucanganom dikejutkan "kemunculan" mustaka dan jambangan dari gerabah di tengah sawahsebelah utara dusun. Utusan dari Kasultanan Mataram (yang sebenarnya menaruh kedua benda tersebut) lantas menyerukan titah Raja Mataram agar masyarakat setempat bergotong royong mendirikan masjid memanfaatkan mustaka dan jambangan "tiban" itu.
Tak lama, berdirilah masjid sederhana bertumpukan kayu hutan beratapkan welid atau daun kelapa. Meskipun tak ada "candrasengkala" yang menunjukkan tahun pendiriannya, Masjid diyakini ada sejak abad ke-16, yaitu zaman pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo.
Arca Ganesha
Seiring perjalanan waktu, bangunan Darussalam berulang kali direnovasi. Menurut Sukarno, takmir masjid, tahun 1948 usuk dan reng yang lapuk dimakan usia diganti kayu pohon sawo yang tumbuh di sekitar masjid.
Tahun 1993, Darussalam kembali direnovasi karenasalah satu tiangnya keropos. Namun, bentuk asli masjid berupa joglo dan mustaka dari gerabah tetap dipertahankan hingga kini. Mustaka yang sempat cuil diperbaiki dan dipasang kembali sebagai kubah masjid.
Ada kisah menarik mengiringi proses pemindahan jambangan. Tempat air yang digunakan untuk wudhu itu sebelumnya terletak berimpitan dengan tombok masjid. Ketika digali untuk dipindahkan, ditemukan arca Ganesha dari kuningan di bawah jambangan. Arca itu ditengarai berkait kisah putri dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri hingga pesisir selatan.
Putri yang menolak memeluk Islam setelah Majapahit dikuasai Kerajaan Demak itu konon membawa arca berbentuk gajah. Ia tiba di Pucanganom setelah mengikuti panah api yang dilepaskan Syekh Maulana Maghribi. Kini, arca Ganesha itu kembali dipendam di bawah jambangan yang telah dipindahkan di sebelah selatan pawudhon.
Epos Perjuangan
Masjid Darussalam pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di pesisir selatan. Dua gurumengaji, yaitu Syekh Muharam dan Syekh Jambe Karang menyiarkan Islam ke wilayah-wilayah Pantai Selatan. Jasad keduanya kini bersemayam di pekuburan di sebelah barat masjid. Dikomplek pekuburan itu juga terdapat makam Nyai Pucang (konon adalah sang putri Hindu yang kemudian memeluk Islam setelah dinikahi Kyai Pucang, pendiri Dusun Pucanganom) serta keturunannya.
Darussalam juga menjadi salah satu saksi bisu sejarah perjuangan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa Agresi Belanda II tahun 1948-1949, masjid itu sempat menjadi tempat peristirahatan Laskar Hizbullah wilayah Bantul. Pasukan laskar juga berkoordinasi dan menyusun strategi meelawan penjajah di masjid itu. Dua gerilyawan, Sukarno dan Ali, gugur tertembak patroli Belanda di serambi masjid.
Kisah yang menyertai masjid itu menghadirkan nuansa keheningan tersendiri. "Darussalam" (bahasa Arab) adalah salah satu tingkatan surga, dapat pula berarti kedamaian. Siapa pun yang ingin melepas penat keriuhan, merindu kedaimaian dalam kalam-kalam ilahiyah, dapat menjumputnya di Masjid Darussalam di pesisir selatan.
Masjid Darussalam (news.detik.com) |
Yang membedakan Darussalam dengan masjid lain adalah keberadaan mustaka (kubah masjid) dan jambangan atau tempat air (untuk wudhu) yang berumur tak kurang dari 500 tahun. Masjid yang berdiri di atas tanah putih (tanah milik Kasultanan Mataram) seluas 799 meter persegi tersebut juga mengukir riwayat syiar Islam dan perjuangan kemerdekaan di pesisir selatan Yogyakarta.
Alkisah, lima abad lampau masyarakat Pucanganom dikejutkan "kemunculan" mustaka dan jambangan dari gerabah di tengah sawahsebelah utara dusun. Utusan dari Kasultanan Mataram (yang sebenarnya menaruh kedua benda tersebut) lantas menyerukan titah Raja Mataram agar masyarakat setempat bergotong royong mendirikan masjid memanfaatkan mustaka dan jambangan "tiban" itu.
Tak lama, berdirilah masjid sederhana bertumpukan kayu hutan beratapkan welid atau daun kelapa. Meskipun tak ada "candrasengkala" yang menunjukkan tahun pendiriannya, Masjid diyakini ada sejak abad ke-16, yaitu zaman pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo.
Arca Ganesha
Tahun 1993, Darussalam kembali direnovasi karenasalah satu tiangnya keropos. Namun, bentuk asli masjid berupa joglo dan mustaka dari gerabah tetap dipertahankan hingga kini. Mustaka yang sempat cuil diperbaiki dan dipasang kembali sebagai kubah masjid.
Jambangan Tiban (www.tembi.net) |
Putri yang menolak memeluk Islam setelah Majapahit dikuasai Kerajaan Demak itu konon membawa arca berbentuk gajah. Ia tiba di Pucanganom setelah mengikuti panah api yang dilepaskan Syekh Maulana Maghribi. Kini, arca Ganesha itu kembali dipendam di bawah jambangan yang telah dipindahkan di sebelah selatan pawudhon.
Epos Perjuangan
Masjid Darussalam pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di pesisir selatan. Dua gurumengaji, yaitu Syekh Muharam dan Syekh Jambe Karang menyiarkan Islam ke wilayah-wilayah Pantai Selatan. Jasad keduanya kini bersemayam di pekuburan di sebelah barat masjid. Dikomplek pekuburan itu juga terdapat makam Nyai Pucang (konon adalah sang putri Hindu yang kemudian memeluk Islam setelah dinikahi Kyai Pucang, pendiri Dusun Pucanganom) serta keturunannya.
Darussalam juga menjadi salah satu saksi bisu sejarah perjuangan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa Agresi Belanda II tahun 1948-1949, masjid itu sempat menjadi tempat peristirahatan Laskar Hizbullah wilayah Bantul. Pasukan laskar juga berkoordinasi dan menyusun strategi meelawan penjajah di masjid itu. Dua gerilyawan, Sukarno dan Ali, gugur tertembak patroli Belanda di serambi masjid.
Kisah yang menyertai masjid itu menghadirkan nuansa keheningan tersendiri. "Darussalam" (bahasa Arab) adalah salah satu tingkatan surga, dapat pula berarti kedamaian. Siapa pun yang ingin melepas penat keriuhan, merindu kedaimaian dalam kalam-kalam ilahiyah, dapat menjumputnya di Masjid Darussalam di pesisir selatan.
(NURULFATCHIATI/LITBANG KOMPAS)