Raden Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan diri setelah tahu Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri. Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb. Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan orangorang Madura dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.
Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan. Di sini dimanfaatkan Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok sampai di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang tentara Tiongkok sehingga banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok. Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai 4 (empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.
Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan. Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu Kalagemet/ Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukanpasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan Bubat dengan perwujudannya sebagai
Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali. Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama BhreKahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360).
Tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa (artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.
Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah ditaklukkan Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya. Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung (Minangkabau) dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap Gayatri ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu. Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.
Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan. Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran (anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang belum dapat ditaklukkan majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan jalan tipu muslihat akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti dibawah ini.
PERANG BUBAT (Menurut Kidung Sundayana)
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.
Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana. Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu jiwanya yang senantiasa memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi. Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tandatanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung Sindanglaya ini.
Sementara di Jawa Barat telah ada :
- 1030 : Berdirinya kerajaan nafas Hindu Sunda dengan rajanya Sri Jayabupati
- 1190 : Kerajaan Galuh dengan rajanya Ratu Pusaka
- 1333 : Kerajaan Pajajaran dengan ibu kota Pakuan dan rajanya Ratu Purnama
Selain sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364, dan digantikan oleh 4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan negara serta lebih ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah. Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:
- Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
- Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)
- Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih
- Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran)
- Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)
- Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)
- Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371
- Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit, dihimpun oleh mpu Prapanca di tahun 1365;
- Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular
- Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit
Wikramawardhana (1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang dikenal dengan nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam (1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian daerah-daerah lainnya, dan ada juga yang masih mengaku Majapahit sebagai atasannya tetapi dalam prakteknya tidak banyak hubungan dengan pusat. Sehingga saat Wikramawardhana meninggal di tahun 1428, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain :
- Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata
- Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga
- Rakyat memakai kain dan baju
- Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau gading
- Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya
- Biasa memakan sirih
- Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu
- Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria
- Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh Dalang)
- Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggalbersama anjing mereka
Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. Yang nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan Nusantara semakin suram dan makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun 1400 berpusat di Malaka disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit.
Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundakundak di lereng-lereng gunung (misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lainlain. Suhita digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. dari kitab Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti Krtawijaya, tetapi ia berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga tahun tanpa raja, lalu dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi Singha wikramawardhana, berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun.
Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian tentang riwayat Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke kerajaan Islam di Demak. Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.
Penerus Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di Kahuripan) adalah Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478. Tidak diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu putra yang bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi Bupati Demak. Hanya saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, lalu masuk agama Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.
...Sebelumnya | Bersambung...
By eryc9
Editing by r3dsnot
Sumber : Supriyadi; Wikipedia Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar